Muhammadiyyah
Salah satu organisasi sosial Islam yang
terpenting di Indonesia sebelum perang dunia II adalah Muhammadiyyah.
Organisasi ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh K.H
Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa orang
anggota Budi Utomo untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat
permanen. (Zuhairini, 2004: 171)
Selain sebagai gerakan Islam, dakwah, dan tajdid
(pembaharuan), organisasi Muhammadiyyah juga telah menempatkan pendidikan
sebagai salah satu media untuk mencapai tujuan organisasi sosial keagamaan.
Penempatan ini selain strategis juga telah membawa keberhasilan yang luar biasa
dalam rangka mencerdaskan umat Islam dan bangsa Indonesia. Sebagai salah satu
wahana untuk berperan aktif mencerdaskan anak-anak bangsa, Muhammadiyyah telah
merumuskan visi, misi, tujuan, dan kelembagaan pendidikannya. (Hamdan, 2009: 77)
a.
Visi dan Misi Pendidikan Muhammadiyyah
Bagi Muhammadiyyah, pendidikan memiliki
kedudukan yang sangat strategis dalam pencapaian maksud dan tujuan
Muhammadiyyah, yakni menegakkan dan menjungjung tinggi agama Islam yang
sebenar-benarnya. Menurutnya tujuan Muhammadiyyah itu dapat diwujudkan dengan
melaksanakan dakwah yang salah satunya melalui pendidikan. (Hamdan, 2009: 78)
Menurut
Hamdan (2009: 78) bahwa visi yang diemban oleh pendidikan Muhammadiyyah adalah
pengembangan wawasan intelektual (berfikir) peserta didik setiap jenis dan
jenjang pendidikan yang dikelola oleh organisasi Muhammadiyyah. Sedangkan misinya
ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam melalui dakwah Islam amar
ma’ruf nahi munkar di semua aspek kehidupan. Adapun implementasi visi dan
misi pendidikan Muhammadiyyah ini tentunya mendapat penekanan atau prioritas
yang berbeda-beda sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikannya.
b.
Tujuan Pendidikan Muhammadiyyah
Sejak awal berdirinya, ormas Muhammadiyyah
merupakan gerakan purifikasi (pemurnian) pemikiran Islam dan sekaligus
memosisikan diri sebagai gerakan dakwah dan pendidikan. Sebagai organisasi
keagamaan yang sangat concern dengan
dunia pendidikan, Muhammadiyyah telah menyelenggarakan berbagai jenis lembaga
pendidikan yang tercakup dalam kegiatan pendidikan formal (sekolah), non-formal
(di masyarakat, sekolah), dan informal (rumah tangga, masyarakat, sekolah).(Hamdan, 2009: 80)
Sebenarnya tujuan umum pendidikan Muhammadiyyah
secara resmi baru dirumuskan pada tahun 1936 pada saat kongres di Betawi yang
berisi, (1) menggiring anak-anak Indonesia menjadi orang Islam yang berkobar-kobar
semangatnya, (2) badannya sehat, tegap bekerja, dan (3) hidup tangannya mencari
rezeki sendiri, sehingga kemauannya itu memberi faedah yang besar dan berharga
hingga bagi badannya dan juga masyarakatnya hidup bersama. (Hamdan, 2009: 84)
Kelembagaan Pendidikan Muhammadiyyah
Menurut Ahmad Tafsir (Hamdan, 2009: 88)
mengatakan bahwa program pendidikan di SD, SMP, SMA Muhammadiyyah tidak sebatas
pada program yang sebagaimana tertulis di dalam buku kurikulum sekolah itu
masing-masing. Muhammadiyyah menganggap perlu juga adanya kegiatan pendidikan
yang bersifat menunjang kurikulum yang tertulis didalam kurikulum tersebut.
Kegiatan penunjang itu seperti Madrasah Diniyah sore hari, kursus bahasa Arab
dan agama Islam tiga hari dalam seminggu, dan kegiatan belajar lainnya yang
menunjang.
Nahdatul Ulama
Nahdatul Ulama didirikan pada tanggal 16 Rajab
1344 H di Surabaya yang didirikan oleh alim ulama dari tiap-tiap daerah di
Jawa. Diantaranya:
a. K.H Hasyim Asy’ari Tebuireng
b. K.H Abdul Wahab Hasbullah
c. K.H Bisri Joombang
d. K.H Ridwan Semarang
e. Dan lain-lain
Latar belakang didirikannya organisasi ini pada
mulanya adalah sebagai perluasan dari suatu komite Hijaz yang dibangun dengan
dua tujuan, (1) untuk mengimbangi komite khilafah yang secara berangsur-angsur
jatuh di tangan pembaharuan, (2) untuk berseru kepada Ibnu Sa’ud, penguasa baru
di tanah Arab, agar kebiasaan beragama secara tradisi dapat diteruskan. (Zuhairini, 2004: 179)
Masih dalam Zuhairini (2004: 181) bahwa maksud
perkumpulan NU ialah memegang salah satu mazhab dari mazhab imam yang empat,
yaitu: (1) Syafi’i (2) Maliki (3) Hanafi (4) Hanbali, dan mengerjakan apa-apa
yang menjadikan kemaslahatan untuk agama Islam. Dan untuk mencapai maksud itu,
maka diadakan ikhtiar:
a.
Mengadakan perhubungan antara ulama-ulama yang bermazhab di atas tersebut
b.
Memeriksa kitab-kitab sebelum dipakai untuk mengajar, supaya diketahui
apakah kitab itu termasuk kitab-kitab Ahlusunnah Wal Jamaah atau kitab-kitab
Ahli Bid’ah
c.
Menyiarkan agama Islam berdasarkan pada mazhab tersebut di atas dengan
jalan apa saja yang baik
d.
Berikhtiar memperbanyak madrasah-madrasah yang berdasarkan agama Islam
e.
Memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan masjid-masjid, surau-surau,
pondok-pondok, begitu juga dengan hal ihkwalnya anak-anak yatim dan orang fakir
miskin
f.
Mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan, dan
perusahaan yang tiada dilarang oleh syara’ agama Islam
Demikian maksud dan tujuan NU sebagaimana yang
tersebut dalam Anggaran Dasar 1926 (sebelum menjadi partai politik). Dengan
demikian dapat diambil kesimpulan bahwa NU adalah perkumpulan sosial yang
mementingkan pendidikan dan pengajaran Islam. Oleh sebab itu NU mendirikan
beberapa madrasah di tiap-tiap cabang untuk mempertinggi nilai kecerdasan dan
budi luhur masyarakat Islam. Sejak masa pemerintahan Belanda dan penjajahan
Jepang, NU tetap memajukan pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah, juga
mengadakan tablig-tablig serta pengajian-pengajian disamping urusan sosial yang
lain, bahkan juga urusan politik yang dapat dilaksanakannya pada masa itu. (Zuhairini, 2004: 181)
3.
Persatuan
Islam
Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung pada permulaan tahun 1920
ketika orang-orang Islam di daerah-daerah lain telah lebih dahulu maju untuk
mengadakan pembaharuan dalam agama. Ide pendirian organisasi ini berasal dari
pertemuan yang bersifat kenduri (perjamuan makan) yang didakan secara berkala
di salah satu anggota kelompok di Bandung. Di sana mereka berbincang mengenai
masalah-masalah agama yang dibicarakan oleh majalah Al-Munir di Padang, oleh
Al-Manar di Mesir, pertikaian-pertikaian antara Al-Irsyad dan Jam’iat Khair.
Juga pembicaraan soal komunisme yang telah berhasil memecahkan Sarekat Islam
yang begitu kuat. (Zuhairini, 2004: 187)
Menurut Zuhairini (2004: 188) hal utama yang diperhatikan oleh Persis
adalah bagaimana menyebarkan cita-cita dan pemikirannya. Ini dilakukan dengan
mengadakan pertemuan umum, tablig, khutbah-khutbah, kelompok-kelompok studi,
mendirikan sekolah-sekolah, dan menyebarkan atau menerbitkan pamflet-pamflet,
majalah-majalah dan kitab-kitab. Dalam kegiatan ini Persis beruntung karena
mendapatkan dukungan dari dua orang tokoh penting, yaitu Ahmad Hasan, yang
dianggap sebagai guru Persis yang utama pada masa sebelum perang, dan Muhammad
Natsir yang pada waktu itu merupakan seorang anak muda yang sedang berkembang
dan yang tampaknya bertindak sebagai juru bicara dari organisasi tersebut dalam
kalangan terpelajar.
Sebagaimana halnya dengan organisasi Islam lainnya, Persis memberikan
perhatian yang besar pada kegiatan-kegiatan pendidikan, tablig serta publikasi.
Dalam bidang pendidikan Persis mendirikan sebuah madrasah yang mulanya
dimasudkan untuk anak-anak dari anggota Persis, juga kursus-kursus dalam
masalah agama seperti masalah iman, ibadah dengan menolak segala kebiasaan
bid’ah. (Zuhairini, 2004: 190)
Sebuah kegiatan yang penting lainnya dalam rangka pendidikan Persis ini
adalah membentuk lembaga pendidikan Islam, sebuah proyek yang diprakarsai oleh
M.Natsir dan terdiri dari beberapa buah sekolah seperti Taman Kanak-kanak, HIS
(keduanya pada tahun 1930), sekolah Mulo (1931), dan sebuah sekolah guru
(1931).Disamping pendidikan Islam, Persis juga mendirikan Pesantren di Bandung
pada bulan Mei 1936 untuk membentuk kader-kader yang mempunyai keinginan untuk
menyebarkan agama. Lalu pesantren ini dipindah ke Bangil, Jawa Timur, ketika
Ahmad Hasan pindah kesana dengan membawa 25 dari 40 siswa dari Bandung. (Zuhairini, 2004: 191)
DAFTAR
PUSTAKA
Daulay, H. P. (2009). Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara.
Jakarta: Rineka Cipta.
Hamdan. (2009). Paradigma Baru Pendidikan Muhammadiyyah.
Yogyakarta: Ar-Ruz Media.
Langgulung, H. (2000). Asas-Asas Pendidikan Islam.
Jakarta: PT. Al Husna Zikra.
Muchtar, H. J. (2005). Fikih Pendidikan. Bandung: Rosda.
Nasir, R. (2010). Tipologi format Pendidikan Ideal.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nata, A. (2012). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Zuhairini. (2004). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar