Rabu, 04 Mei 2016

isu-isu pendidikan islam


A.    Kedudukan Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional
Sistem pendidikan Nasional merupakan sarana formal dalam membentuk manusia Indonesia yang bersifat utuh yakni manusia yang bertaqwa, cerdas, terampil, berbudi luhur dan berkepribadian Indonesia.[1] Pendidikan Islam dan pendidikan nasional tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hal ini dapat ditelusuri dari 3 segi, pertama dari konsep penyusunan sistem pendidikan nasional itu sendiri, kedua dari hakikat pendidikan islam dalam kehidupan beragama kaum muslimin di Indonesia, ketiga dari segi kedudukan pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional.[2]
Pancasila sebagai landasan ideologis bangsa Indonesia pada sila pertama pancasila itu sendiri ialah ketuhanan Yang Maha Esa . Dalam bingkai ideology,  pembangunan pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional secara jelas didudukkan dalam peraturan perundangkan yang mengatur tentang penyelenggaraaan pendidikan Indonesia.
Pada masa awal kemerdekaan pokok-pokok pendidikan yang diusulkan Badan Pekerja komite Nasional Indonesia pusat (BPKNIP) menyatakan bahwa pengajaran agama hendaklah mendapatkan tempat yang teratur dan seksama , hingga cukup mendapatkan perhatian yang semestinya dengan tidak mengurangi kemerdekaan golongan-golongan yang berkendak mengikuti kepercayaan yang dianutnya. Tentang cara melakukan ini baiknya kementrian melakukan perundingan dengan badan pekerja. Madrasah dan pesantren-pesantren pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat dan berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan yang nyata dengan berupa tuntutan dan bantuan material dari pemerintah.
Selanjutnya pada masa orde lama pendidikan Agama telah dilaksanakan di Sekolah negeri melelui surat edaran ki Hajar dewantara serta penetapan bersama mentri Agama, dan mentri pendidikan, pengajaran dan kebudayaan Nomor: 1285/K.7 dan 1142/BHG.A tanggal 12 Desember 1946 yang kemudian diperbaharui dengan peraturan bersama nomor : 17678/Kab dan K/9180 tanggal 16 Juli 1951. Selanjutnya Tap MPR No II/MPRS/1966 secara tegas telah menetapkan pendidikan Agama sebagai mata pelajaran di Sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Undang-undang No.2 Tahun 1989, Bab IX pasal 39 ayat 2 dan 3 menyatakan bahwa : Ayat (2) Isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat : Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan.Setelah masa reformasi pemerintah mengeluarkan peraturan tentang pendidikan agama yaitu dengan Undang-undang No.20 Tahun 2003 pasal 37 ayat 1 : kurikulum pendidikan dasar wajib memuat : Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Bahasa, Matematika, IPA, IPS, seni dan Budaya, Penjas dan olahraga, Ketrampilan, Muatan Lokal. Dan ayat 2 : kurikulum Pendidikan tinggi wajib memuat : Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa.
PP No 47 Tahun 2008 menyebutkan bahwa wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus di diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah. Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah, berbentuk sekolah dasar dan madrasah Ibtidaiyah atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama dan madrasah tsanawiyah atau bentuk lain yang sederajat.Dalam PP nomor 55 Tahun 2007 pasal 2 ayat 1 memberikan pengertian bahwa pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian , serta ketrampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya , yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/ kuliah pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan , hubungan inter dan antar umat beragama.
PMA No.16 tahun 2010 Pasal 3 ayat 1 berbunyi setiap sekolah wajib menyelenggarakan pendidikan agama. Dan pasal 2 berbunyi setiap peserta didik berhak memperoleh pendidikan Agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
Selanjutnya dalam UU No.12 Tahun 2012 disebutkan bahwa kurikulum pendidikan tinggi, wajib memuat mata kuliah yaitu agama, pancasila, kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia. Undang-undang tersebut semakin memperkuat posisi pendidikan Agama di dalam sistem pendidikan nasional. 

B.     Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Umum
Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiaapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani ajaran agama Islam, dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.
Munculnya anggapan-anggapan yang kurang menyenagkan tentang pendidikan agama seperti Islam diajarkan lebih pada hafalan (padahal Islam penuh dengan nilai-nilai) yang harus dipraktekan. Pendidikan agama lebih ditekankan pada hubungan formalitas antara hamba dengan Tuhannya, penghayatan nilai-nilai agama kurang mendapat penekanan dan masih terdapat sederet respons kritis terhadap pendidikan agama. Hal ini disebabkan penilaian kelulusan siswa dalam pelajaran agama diukur dengan berapa banyak hafalan dan mengerjakan ujian tertulis dikelas yang dapat didemonstrasikan oleh siswa.
            Sebagai bangsa indonesia kita harus mengartikan pendidikan sebagai perjuangan bangsa, yaitupendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa indonesiadan berdasarkan pada pancasila dan UUD 45. Dalam operasionalisasinya, pendidikan nasional tersebut dikelompokan kedalam berbagai jenis sesuai dengan sifat dan kekhususan tujuannya, yang dikelola dalam perjenjangan sesuai dengan tahapan atau tingkat peserta didik, keluasaan dan kedalaman bahan pengajaran.
            Dengan demikian, sisitem pendidikan khususnya islam, secara macro merupakan usaha pengorganisasian proses kegiatan kependidikan yang berdasarkan ajaran islam dan pendekatan sistematik, sehingga dalam pelaksanaan opreasionalnya terdiri dari berbagai sub-sub sistem dari jenjang pendidikan pra dasar, menengah atau perguruan tinggi yang harus memiliki vertikalitas dalam kualitas ke ilmu pengetahuan dan keteknologian yang makin optimal, yang  mana tiap tingkat, keimanan dan ketakwaan kepada allah akan meninggika derajat lebi tinggi bagi orang yang beriman dan berilmu pengetahuan.
            Hakikat pembangunan nasional adalah membangun manusia indonesia indonesia seutuhnya dan seluruh mansyarakat indonesia yang berlandaskan pancasila dan UUD 45, maka jelaslah tersirat dalam rumusan GBHN tersebut suatu idealitas yang sangat tinggi nilainya karena pandangan dasar bahwa manusia yang utuh lahiriyah dan jasmaniayah, seimbang, selaras dan serasi antara dunia dan akhirat dan sebagainya yang mampu menjadi pemeran aktif dalam pembangunan.[3]
            Pendidikan agama wajib dilaksanakandisemua lingkungan pendidikan oleh semua unsur penanggung jawab pendidikan, mengingat pendindikan agama di negeri pancasilayang kita cintai ini bukan semata-mata panggilan misional yang mengikat seluruh bangsa untuk menyukseskan, seperti halnya dengan komponen dasar pendidikan lainya, misalnya PMP< pendidikan P-4, PSPB yang satu sama lain harus saling mengembangkan dan berkaitan atau saling mengacu, meskipun pada masing-masing lingkungan tersebut intensitas pengaruh dan efektifnya tidak sama karena berbagai faktor dan fasilitas yang berbeda.


C.     Sistem Pendidikan dan Pengajaran di Madrasah
Secara historis, pada tahap-tahap awal perjalanan madrasah tidaklah begitu mulus, kendatipun didirikan dengan nama madrasah, semula yang dikehendaki ialah suatu lembaga pendidikan dengan sistem klasikal, yang didalamnya anak didik mendapatkan ilmu pengetahuan agamaan umum secara berimbang. Tetapi prakteknya hanya dicerminkan oleh sistem klasikalnya saja, sementara kurikulum yang diajarkan tetap semata-mata bidang studi agama. Karena itu banyak madrasah pada tahap-tahap awal ini tidak bedanya dengan pesantren tradisional yang sudah lama berjalan.

Dari kenyataan-kenyataan tersebut, maka oleh Departemen Agama diadakanlah upaya-upaya untuk peningkatan kualitas madrasah, yang salah satu aspeknya adalah kurikulum. Untuk masalah kurikulum ini, dalam perkembangannya telah beberapa kali diadakan perubahan, dari yang muatannya lebih banyak pengetahuan agama dari pada pengetahuan umum sampai dengan diberlakukannya kurikulum 1994 yang memuat kurang lebih 10% pendidikan agama dan 90% pengetahuan umum.

Sistem pendidikan dan pengajaran yang digunakan pada madrasah merupakan perpaduan antara sistem pondok pesantren dengan sistem yang berlaku pada sekolah-sekolah modern. Proses perpaduan tersebut berlangsung secara berangsur-angsur, mulai dari mengikuti system klasikal. Sistem pengajian kitab, diganti dengan bidang-bidang pelajaran tertentu, walaupun masih menggunakan kitab-kitab yang lama. Kenaikan tingkat ditentukan oleh penguasaan terhadap sejumlah bidang pelajaran tertentu.

Pada perkembangan berikutnya sistem pondok mulai ditinggalkan dan berdiri madrasah-madrasah yang mengikuti sistem yang sama dengan sekolah-sekolah modern. Namun demikian, pada tahap-tahap awal madrasah tersebut masih bersifat diniyah yang hanya mengajarkan pengetahuan agama.

Tampaknya, ide-ide pembaharuan yang berkembang di dunia Islam dan kebangkitan nasional bangsa Indonesia sangat besar pengaruhnya, sedikit demi sedikit pelajaran umum masuk ke dalam kurikulum madrasah, dan terus berproses sebagaimana digambarkan terdahulu. Buku-buku pelajaran agama mulai disusun khusus sesuai dengan tingkatan madrasah, sebagaimana halnya dengan buku-buku pengetahuan umum yang berlaku di sekolah-sekolah umum. Bahkan kemudian timbullah madrasah-madrasah yang mengikuti sistem perjenjangan dan bentuk-bentuk sekolah-sekolah modern, seperti Madrasah Ibtidaiyah (MI) untuk tingkatan dasar, Madrasah Tsanawiyah (MTs) untuk tingkatan SMP, Madrasah Aliah (MA) untuk tingkatan SMA, dan ada pula Kuliah Muallimin (pendidikan guru) yang disebut normal Islam.


D.    Madrasah dan SKB 3 Menteri
SKB 3 Menteri yang bertemakan “Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah” yang diterbitkan pada tahun 1975 berlaku bagi semua jenjang madrasah, baik madrasah negeri maupun swasta, madrasah di lingkungan pondok pesantren maupun di luar pondok pesantren. Sebagaimana namanya, tujuan utama SKB 3 menteri tersebut adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan madrasah agar sejajar dengan sekolah-sekolah umum. Selain itu, menurut Abuddin Nata, hal keputusan bersama tersebut merupakan langkah awal masuknya pendidikan Islam ke dalam sistem pendidikan nasional.

Secara umum isi SKB 3 menteri tersebut adalah:
1.      Ijazah yang dikeluarkan oleh madrasah diakui dan mempunyai nilai yang sama dengan ijazah dari sekolah umum.
2.      Lulusan madrasah dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah umum setingkat lebih tinggi.
3.      Siswa madrasah dapat pindah ke sekolah umum yang setingkat.
                                            
Hal tersebut tertuang dalam bab 2 (dua) pasal 2 (dua). Sedangkan peningkatan mutu pendidikan pada madrasah, sebagaimana dijelaskan pada pasal 3 (tiga) ayat 1 (satu) meliputi beberapa bidang:
1.      Kurikulum,
2.      Buku-buku pelajaran, alat-alat pendidikan dan sarana pendidikan pada umumnya,
3.      Pengajar.
Sementara dalam pasal 3 ayat 2 (dua) dijelaskan tentang kesesuaian tigkatan pendidikan madrasah dan sekolah umum:
1.      Standar pengetahuan madrasah ibtidaiyah adalah sama dengan Sekolah Dasar,
2.      Standar pengetahuan madrasah tsanawiyah sama dengan Sekolah Menengah Pertama,
3.      Sementara madrasah aliyah disetarakan dengan Sekolah Menengah Atas dalam standar pengetahuan yang diajarkannya.

Sebagai konsekuensi adanya SKB 3 Menteri ini adalah bahwa seluruh madrasah harus melakukan perubahan kurikulum, dimana 70 % materi yang diajarkan merupakan ilmu pengetahuan umum dan 30 % sisanya adalah ilmu pengetahuan agama. Dengan ini pula diharapkan lembaga pendidikan Islam dapat meningkatkan kualitasnya sehingga mampu berkompetisi dengan sekolah umum. Perbedaan yang ada hanya masalah departemen pemerintah yang menaunginya. Madrasah/lembaga pendidikan Islam berada di bawah payung Departemen Agama, sementara sekolah (umum) berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional. Perbedaan lain adalah proporsi materi pelajaran agama Islam di kedua lembaga tersebut. Materi agama di madrasah lebih banyak dari pada materi agama yang diajarkan di sekolah.

Kelahiran SKB 3 Menteri ini memang dimaksudkan untuk mengatasi kekhawatiran dan kecemasan umat Islam akan dihapuskannya sistem pendidikan madrasah dalam sistem pendidikan nasional sebagai kongkurensi Keppres dan Inpres di atas. SKB ini dapat dipandang sebagai model solusi yang di satu sisi memberikan pengakuan terhadap eksistensi madrasah, dan di sisi lain memberikan kepastian akan berlanjutnya usaha yang mengarah pada pembentukan sistem pendidikan nasional yang integratif.





DAFTAR PUSTAKA

Assegaf, Abdur Rahman. Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta : Suka press, 2007.
Suhartini, Andewi, Sejarah pendidikan Islam, Jakarta: Depag RI, 2009.
Djamaludin, Kapita Selekta Pendidikn Islam, Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 1999.






[1] Abdur Rahman Asegaf, pendidikan Islam di Indoonesia, ( Yogyakarta : Suka Press, 2007), hal.134.
[2] Andewi Suhartini, Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta : Depag RI, 2009), hal. 191.
[3] Drs. H. Djamaludin, Kapita Selekta Pendidikn Islam, Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 1999, hlm, 38

tokoh-tokoh pendidikan islam

PEMIKIRAN TOKOH PENDIDIKAN ISLAM (KLASIK DAN MODERN)

KONSEP PENDIDIKAN IBN MISKAWAIH
A. Riwayat Hidup Ibn Miskawaih
Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Muhammad Ya’kub Ibn Miskawaih. Ia lahir pada tahun 320 H/932 M. di Rayy, dan meninggal di Isfahan pada tanggal 9 Shafar tahun 412 H./16 Pebruari 1030 M. Ibn Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihi (320-450 H./932-1062 M.) yang sebagian besar pemukanya bermazhab Syiah. (Nata Abudin, 2000)

Latar belakang pendidikannya tidak terlacak secara rinci. Tetapi ditemukan keterangan, bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakr Ahmad Ibn Kamil al-Qadi, mempelajari Filsafat dari Ibn al-Akhmar, dan mempelajari Kimia dari Abu Thayyib.

Pekerjaan utama Ibn Miskawaih adalah bendaharawan, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihi. Selain akrab dengan penguasa, ia juga banyak bergaul dengan para ilmuwan seperti Abu Hayyan at-Tauhidi, Yahya Ibn ‘Adi dan Ibn Sina. Ibn Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan besar yang kemasyhurannya melebihi pendahulunya, At-Thabari (w. 310 H./923 M.). Selanjutnya ia juga dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa.

B. Konsep Pendidikan Ibn Miskawaih
Konsep pemikiran pendidikan Ibn Miskawaih dilandasai oleh konsep pemikirannya tentang manusia dan akhlak.

1. Dasar Pemikirannya
A. Konsep Pendidikan
Ibn Miskawaih membangun konsep pendidikan pada pendidikan akhlak. Selengkapnya dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskannya adalah terwujudnya sikap bathin yang mampu mendorong serta spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik, sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna.
b. Materi Pendidikan Akhlak
Ibn Miskawaih menyebut tiga hal pokok menjadi materi pendidikan akhlaknya. Tiga hal tersebut adalah: (1) hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, misalnya shalat, puasa dan sa’i(2) hal-hal yang wajib bagi jiwa, misalnya mengesakan Allah serta motivasi senang kepada ilmu dan (3) hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia, misalnya ilmu muamalat, pertanian, perkawinan, saling menasehati, peperangan dan lain-lain.
c. Pendidik dan Anak Didik
Pendidik, dalam hal ini guru, instruktur, ustadz atau dosen memegang peranan penting dalam keberlangsungan kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang ditetapkan. Sedangkan anak didik yang selanjutnya disebut murid, siswa, peserta didik atau mahasiswa merupakan sasaran kegiatan pengajaran dan pendidikan merupakan bagian yang perlu mendapatkan perhatian yang seksama. Perbedaan anak didik dapat menyebabkan terjadinya perbedaan materi, metode, pendekatan dan sebagainya.
d. Lingkungan Pendidikan
Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kondisi yang baik dari luar dirinya. Selanjutnya ia menyatakan, bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang berbuat baik terhadap keluarga dan orang-orang yang masih ada kaitan dengannya mulai dari saudara, anak atau orang yang masih ada hubungan dengannya.
e. Metodologi Pendidikan
Beberapa metode yang diajukannya untuk mencapai akhlak yang baik adalah pertama, adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus-menerus dan menahan diri (al-‘adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya.
KONSEP PENDIDIKAN AL-QABISI
A. Riwayat Hidup al- Qabisi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad Khalaf al-Ma’afiri al-Qabisi. Ia lahir di Kairawan, Tunisia, pada bulan Rajab, tahun 224 H. bertepatan dengan 13 Mei tahun 936 M. Ia pernah merantau ke beberapa negara Timur Tengah pada tahun 353 H./963 M. selama 5 tahun, kemudian kembali ke negeri asalnya dan meninggal dunia pada tanggal 3 Rabiul Awal 403 H. bertepatan dengan tanggal 23 Oktober 1012 M.

Riwayat pendidikannya, ia pernah berguru kepada salah seorang ulama di Iskandariyah. Dia emperdalam ilmu agama dan hadits dari ulama-ulama terkenal dari Afrika Utara, seperti Abul Abbas al-Ibyani dan Abu Hasan bin Masruf ad-Dhibaghi, serta Abu Abdillah bin Masrur al-Assa’ali dan sebagainya.

Ketika berada di Kairawan, Tunisia, ia berguru mengenai ilmu fiqh kepada ulama mazhab Malikiyah yang berkembang di daerah itu, sehingga ia menjadi orang yang juga ahli di bidang fiqh. Para pengamat sepakat bahwa al-Qabisi termasuk salah seorang ulama hadits dan fiqh yang terkemuka pada zamannya.

B. Konsep Pendidikan al-Qabisi
Beberapa pemikirannya tentang pendidikan adalah:
1. Pendidikan Anak-anak
Al-Qabisi memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-anak yang berlangsung di kuttab-kuttab. Menurutnya bahwa mendidik anak-anak merupakan upaya amat strategis dalam rangka menjaga kelangsungan bangsa dan negara. Oleh karena itu pendidikan anak harus dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan ketekunan yang tinggi.(Ramayulis, 2009: 56)
2. Tujuan Pendidikan
Al-Qabisi menghendaki agar pendidikan dan pengajaran dapat menumbuhkembangkan pribadi anak yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang benar. Lebih spesifik tujuan pendidikannya adalah mengembangkan kekuatan akhlak anak, menmbuhkan rasa cinta agama, berpegang teguh kepada ajaran-ajarannya, serta berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama yang murni. Di ssamping itu juga al-Qabisi mengarahkan dalam tujuan pendidikannya agar anak memiliki keterampilan da keahlian pragmatis yang dapat mendukung kemampuanya mencari nafkah.

KONSEP PENDIDIKAN AL-MAWARDI
A. Riwayat Hidup al-Mawardi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Basry. Ia dilahirkan di Basrah pada tahun 364 H. bertepatan dengan tahun 974 M. dan wafat di Baghdad pada tahun 450 H. bertepatan dengan tahun 1058 M.

Al-Mawardi hidup pada masa puncak kejayaan ummat Islam. Hingga tidak mengherankan ia tumbuh sebagai pemikir Islam yang ahli dalam bidang fiqh dan sastrawan di samping juga sebagai politikus yang paiwai.

Pendidikannya ditempuh di negeri kelahirannya, Basrah. Di kota itu ia sempat belajar hadits dari beberapa ulama terkenal seperti al-Hasan Ibn Ali Ibn Muhammad Ibn al-Jabaly. Abu Khalifah al-Jumhy, Muhammad Ibn ‘Adiy Ibn Zuhar al-Marqy, Muhammad Ibn al-Ma’ally al-Azdy serta Ja’far bin Muhammad ibn al-Fadl al-Baghdadi. Di samping ahli hadits, ia juga ahli fiqh terkemuka dari mazhab Syafi’i, sastra dan syair, nahwu, filsafat, dan ilmu sosial.

B. Pemikiran al-Mawardi dalam Bidang Pendidikan
Pemikiran al-Mawardi dalam bidang pendidikan sebagian besar terkonsentrasi pada masalah etika hubungan guru dan murid dalam proses belajar mengajar. Pemikiran ini dapat dipahami, karena dari seluruh aspek pendidikan, guru memegang peranan amat penting, bahkan berada pada garda terdepan.

Al-Mawardi memandang penting seorang guru yang memiliki sikap tawadlu (rendah hati), ikhlas serta menjauhi sikap ujub (besar kepala). Sikap tawadlu akan menyebabkan guru bersikap demokratis dalam menghadapi murid-muridnya. Sikap demokratis ini mengandung makna bahwa guru berusaha mengembangkan individu seoptimal mungkin. Guru menempatkan dirinya sebagai pemimpin dan pembimbing dalam proses belajar mengajar.

Dengan keikhlasan, guru akan tampil melaksanakan tugasnya secara profesional. Hal ini ditandai oleh beberapa sikap sebagai berikut:

Pertama, selalu mempersiapkan sesuatu yang diperlukan guna mendukung PBM. Kedua, disiplin terhadap peraturan dan waktu. Ketiga, penggunaan waktu luangnya akan diarahkan untuk kepentingan profesional. Keempat, ketekunan dan keuletan dalam bekerja. Kelima, memiliki daya kreasi dan inovasi yang tinggi.


KONSEP PENDIDIKAN IBN TAIMIYAH
A. Riwayat Hidup Ibn Taimiyah
Nama lengkapnya adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abd al-Halim bin Taimiyah, lahir di kota Harran, Wilayah Siria, pada hari senin 10 Rabiul Awwal 661 H. bertepatan dengan 22 Januari 1263 M dan wafat di Damaskus pada malam Senin, 20 Zulqaidah, 728 H. bertepatan dengan 26 September 1328 M. Ayahnya bernama Syihab a-Din ‘Abd al-Halim Ibn ‘Abd as-Salam (627-672 H.) adalah seorang ulama besar yang mempunyai kedudukan tinggi di Masjid Agung Damaskus. Di samping sebagai khatib dan imam besar di masjid tersebut juga sebagai guru dalam bidang tafsir dan hadits. Bahkan direktur Madrasah Dar-al-Hadits as-Sukkariyah, yang bermazhab Hambali. Di sinilah pertama kalinya Ibn Taymiyah dididik.

B. Konsep Pendidikan Ibnu Taimiyah
1. Falsafah Pendidikan
Dasar atau asas yang digunakan sebagai acuan falsafah pendidikan oleh Ibn Taimiyah adalah ilmu yang bermanfaat sebagai asas bagi kehidupan yang cerdas dan unggul. Hal ini dibangun atas dua hal, (1) al-Tauhid (mengesakan Allah), (2) tabiat insaniyah (kemanusiaan).

2. Tujuan Pendidikan
a. Tujuan Pendidikan Individual
Diarahkan pada terbentuknya pribadi muslim yang baik, yaitu seseorang yang berfikir, merasa dan bekerja pada berbagai lapangan kehidupan pada setiap waktu sejalan dengan perintah al-Quran dan al-Sunnah.
b. Tujuan Sosial
Pendidikan harus diarahkan pada terciptanta masyarakat yang bak sejalan dengan ketentuan al-Quran dan al-Sunnah.

KONSEP PENDIDIKAN ABDULLAH AHMAD
A. Riwayat Hidup
Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878. Ia adalah putera H. Ahmad, seorang lama Minangkabau yang senantiasa mengajarkan agama di surau-surau, di samping sebagai saudagar kain Bugis.

Pendidikan Abdullah Ahmad dimulai dengan mempelajari agama Islam dari orang tuanya serta beberapa guru yang ada di daerahnya. Setelah baligh, ia dimasukkan ke sekolah kelas dua (sekolah yang diperuntukkan bagi pribumi) di Padang Panjang. Karena ayahnya seorang ulama yang berpikiran modern, maka Abdullah Ahmad sangat diharapkan agar menjadi orang yang terpelajar dan memiliki pengetahuan yang luas di bidang agama.

B. Konsep Pendidikan Abdullah Ahmad
Konsep di bidang pendidikan yang dikemukakan oleh Abdullah Ahmad melputi tiga aspek fundamental, yaitu kelembagaan, metode dan aspek kurikulum.
1. Aspek kelembagaan
Aspek kelembagaan yang dirintis beliau adalah mendirikan madrasah Adabiyah. Untuk kepentingan itu ia menghubungi beberapa orang yang memiliki pendidikan guru, seperti Guru Thaib Sutan Pamuncak dan Guru Karim. Sedangkan dari kalangan ulama adalah H. Karim Amrullah, Zainuddin Labai, dan lain-lain. Pada perkembangan berikutnya, di tahun 1915 corak pendidikan Adabiyah diubah menjadi bercorak Hollands Maleische School (HMS) atau Hollands Inlandsche School (HIS), yaitu tingkat pendidikan setarap dengan Sekolah Dasar (SD). Selain diajarkan pelajaran agama dan al-Quran sebagai mata pelajaran wajib, juga diajarkan pengetahuan umum.

Pada perkembangan selanjutnya, berdiri Taman Kanak-Kanak (TK)—walau di zaman pejajahan Jepang dibubarkan. Tetapi jenjang pendidikan SD, SMP dan SMA tetap dipertahankan. Bahkan ditambah dengan Sekolah Tinggi Administrasi Islam (STAI) serta Laboratorium Komputer.

2. Aspek Metode Pengajaran
Metode debating club—metode diskusi termasuk metode yang diterapkan oleh Abdullah Ahmad. Selain itu ia juga menerapkan metode pemberian hadiah dan hukuman sebagaimana yang berkembang saat ini. Metode lain yang diterapkannya adalah metode bermain dan rekreasi.

3. Aspek Kurikulum
Di Sekolah Adabiyah yang bercorak agama ini, dapat disimpulkan bahwa dalam program pendidikannya menerapkan konsep kurikulum pendidikan integrated (integrated curriculum of education), yaitu terpadunya antara pengetahuan umum dengan pengetahuan agama serta bahasa dalam program pendidikan sebagaimana tercantum dalam setiap rencana pengajaran. Dalam pandanganAbdullah Ahmad, bahasa Arab dan Belanda sama-sama memiliki peranan penting dalam konteks alih ilmu pengetahuan.




KONSEP PENDIDIKAN KH. AHMAD SANUSI
A. Riwayat Hidup KH. Ahmad Sanusi
Ahmad Sanusi dilahirkan pada tanggal 3 Muharram 1306 H., bertepatan dengan 18 September 1888 M. di desa Cantayan, kecamatan Cibadak kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Ayahnya bernama KH. Abdurrahman bin Haji Yasin, seorang pengasuh pondok pesantren di Cantayan. Ahmad Sanusi merupakan anak ketiga dari istri yang pertama. Ia wafat pada tanggal 15 Syawal tahun 1369 H./1950.

Ia dibesarkan dalam lingkungan kehidupan yang agamis dan pesantren basis pergerakan keagamaan. Sejak usia tujuh sampai lima belas tahun menimba pengetahuan dari ayahnya di pesantren Citayan. Setelah cukup dewasa, ia disuruh ayahnya untuk memperdalam ilmu agama di luar lingkungan pesantren ayahnya. Pada tahun 1903 ia melanjutkan studinya, guru yang pertama kali didatanginya adalah KH. Muhammad Anwar dari pesantren Salajambe, Cisaat. Kemudian kepada KH. Zaenal Arip di pesantren Sukaraja, pindah lagi ke pesantren Gudang Tasikmalaya berguru pada KH. Sujai, kemabali lagi ke Cianjur dan berguru kepada KH. Ahmad Satibi di pesantren Gentur. Pada tahun 1909 ia berangkat ke Mekkah, setelah menikah dengan Siti Juwairiyah, puteri H. Arfandi dari Kebon Pedes Sukabumi. Selain untuk beribadah, ia juga menuntut ilmu di kota Mekkah. Ia mendatanani ulama-ulama Syafiiyah, seperti Syaikh Shaleh Junaedi, H. Muchtar, H.Abdullah Jamani, Syaikh Shaleh Bafadil dan Syaikh Jawani, seorang mufti mazhab Syafii. Ahmad Sanusi berukim di Mekkah selama tujuh tahun, bahkan ia mendapat kehormatan menjadi imam di Masjidil Haram.
C. Pemikiran Ahmad Sanusi dalam Bidang Pendidikan
Upaya-upaya yang dilakukannya di bidang pendidikan antara lain:
1. Upaya Memajukan Pendidikan
Salah satu upaya untuk memajukan pendidikan, Ahmad Sanusi membentuk lembaga pendidikan Ibtidaiyah dan madrasah Diniyah. Menyelenggarakan kursus-kursus kepemimpinan, pengetahuan umum dan agama, politik, serta mengaktifkan pengajia mingguan. Bahkan untuk meningkatkan pemahaman tentang al-Quran, ia menerbitkan Tamsiyatul Muslimin, kitab tafsir pertama di Sukabumi—yang ditulis dengan bahasa Arab dan Latin.
2. Sistem, Metode dan Kurikulum Pendidikan
Pondok Pesantren “Syamsul Ulum” menggunakan sistem pembelajaran klasikal dengan jadwal dan kurikulum yang sudah ditetapkan. Jenjang pendidikannya terdiri dari tiga tingkatan, yaitu tingkat rendah, menengah dan tinggi, masing-masing terdiri dari empat kelas dengan masa belajar empat tahun. Kurikulum yang disusun danditerapkan adalah kurikulum khusus dalam bidang pelajaran agama.


KONSEP PENDIDIKAN KH. IMAM ZARKASYI
A. Riwayat Hidup KH. Imam Zarkasyi
Imam Zarkasyi lahir di Gontor, Jawa Timur pada tanggal 21 Maret 1910 M. dan meninggal dunia pada tanggal 30 Maret 1985. Ia meninggalkan seorang istri dan 11 orang anak.

Belum genap 16 tahun, Imam Zarkasyi mula-mula menimba ilmu di beberapa pesantren yang ada di daerah kelahirannya, seperti pesantren Josari, Joresan, dan Tegalsari. Setelah belajar di sekolah Ongkoloro, ia melanjutkan studinya di pondok pesantren Jamsarem, Solo. Pada waktu yang sama ia juga belajar di sekolah Mambaul Ulum. Kemudian masih di kota yang sama ia melanjutkan pendidikannya di sekolah Arabiyah Adabiyah yang dipimpin oleh KH. Al-Hasyimi—sastrawan Tunisia yang diasingkan oleh Pemerintah Perancis di wilayah penjajahan Belanda dan akhirnta menetap di Solo, sampai tahun1930.

Setelah menyelesaikan pendidikannnya di Solo, Imam Zarkasyi meneruskan studinya ke Kweekschool di Padang Panjang, Sumatera Barat. Sampai tahun 1935. Setelah tamat, ia diminta menjadi direktur perguruan tersebut oleh gurunya Mahmud Yunus. Tetapi Imam Zarkasyi hanya memenuhinya selama satu tahun, karena Gontor lebih membutuhannya—apalagi kakaknya, Ahmad Sahal tidak mengizinkannya berada di luar lingkungan pendidikan Gontor.
Pada tahun 1936, genap setelah sepuluh tahun dinyatakannya Gontor sebagai lembaga pendidikan dengan gaya baru, Imam Zarkasyi seera memperkenalkan program pendidikan yan diberi nama Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah (KMI) dan ia sendiri bertindak sebagai direkturnya. Pada tahun 1943 ia diminta menjadi Kepala Kantor Agama Karesidenan Madiun. Jabatan lainnya sebagai kepala seksi pendidikan kementerian agama dan anggota komite penelitian pendidikan pada tahun 1946. Selama 8 tahun (1948-1955) ia dipercaya sebagai ketua Pengurus Besar Guru Islam Indonesia (PGII) yang sekretarisnya waktu itu dipegang oleh KH. EZ. Muttaqin dan banyak lagi jabatan lain yang pernah disandangnya. (Mohamed Mohaini, 1991: 16)

Ia juga produktif membuat karya tulis. Di antara karyanya adalah Senjata Penganjur dan Pemimpin Islam, Pedoman Pendidikan Modern, Kursus Agama Islam, Ushuluddin, Pelajaran Fiqh I dan II berikut kamusnya dan buku-buku pelajaran lainnya.

C. Konsep Pendidikan KH. Imam Zarkasyi
1. Pembaharuan Metode dan Sistem Pendidikan
Sistem pendidikan di Gontor dilakukan secara klasikal yang terpimpin secara terorganisir dalam bentuk penjenjangan kelas dalam jangka waktu yang ditetapkan. Ia juga memperkenalkan kegiatan ekstrakurikuler seperti olah raga, kesenian, keterampilan, pidato dalam tiga bahasa (Indonesia, Arab dan Inggris), pramka, dan organisasi pelajar. Santri diharuskan tetap inggal di pondok pesantren (boarding school). Sistem pembelajaran asrama tetap diterapkan (day school system) dengan jadwal pembelajaran yang sangat ketat. Kajian kitab tetap diterapkan, misalnya Fathul Qarib, Fathul Mu’in, I’anatut Thalibin dan sebagainya.

2. Pembaharuan Kurikulum
Kurikulum yang diterapkan Imam Zarkasyi adalah 100 % umum dan 100 % agama. Di samping pelajaran tafsir, hadits, fiqh, ushul fiqh yang biasa dijarakan di pesantren. Ia juga menambahkan pelajaran umum, seperti ilmu alam, ilmu hayat, ilmu pasti, sejarah, tata negara, ilmu bumi, ilmu pendidikan, ilmu jiwadan lain-lain. Khusus pelajaran bahasa Arab ini ditempuh dengan metode langsung (direct method) secara aktif dengan memperbanyak latihan (drill), baik lisan maupun tulisan.

3. Perbaikan Struktur dan Manajemen Pesantren
Berbeda dengan pondok pesantren tradisional, Ponpes Gontor telah mewakafkannya pada sebuah lembaga yang disebut Badan Wakaf Pondok Modern Gontor. Dengan demikian aka ponpes ini menjadi milik semua ummat Islam dan semuanya ikut bertanggung jawab atasnya.

4. Pembaharuan dalam Pola Pikir Santri dan Kebebasan Pesantren
Gagasan independen Imam Zarkasyi direalisasikan dengan menciptakan Pondok Modern Gontor benar-benar steril dari kepentingan politik dan golongan apapun. Hal ini diperkuat dengan semboyan Gontor di atas dan untuk semua golongan. Selanjtnya kemandirian pondok ini juga terlihat dari adanya kebebasan para santrinya untuk menentukan jalan hidupnya kelak. Imam Zarkasyi sering mengatakan bahwa Gontor tidak mencetak pegawai, tetapi mencetak majikan ntuk dirinya sendiri.


KONSEP PENDIDIKAN SYED NAQUIB AL-ATTAS
A. Riwayat Hidup
Beliau adalah ilmuan Malaysia yang lahir di Bogor, Jawa Barat pada 5 September 1931. Pada usia lima tahun ia pindah ke Malaysia, tapi pada masa pendudukan Jepang ia kembali ke Jawa Barat dan belajar agama serta bahasa Arab di pesantren al-Urwah al-Wusqa di Sukabumi. Tahun 1946 ia kembali ke Malaysia dan hidup bersama keluarga Tengku Abdul Aziz yang saat itu menjabat sebagai Menteri Besar Johor.

Pendidikan formalnya dimulai di English College Johor, kemudian The Royal Militery Academy Sandhurst Inggris (selesai tahun 1955). Univesitas Malaya, Malaysia kajian ilmu-ilmu sosial (1057-1959). MA dari McGill University Kanada di bidang teologi dan metafisika. Ph.D di The School of Oriental and Afican Studies Universitas London Inggris (1966) dengan disertasi “The Misticism of Hamzah Fansuri).

B. Pemikiran Naquib al-Attas
 1. Islamisasi Ilmu
Menurutnya, islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran-penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler dan dari makna-makna serta ungkapan manusia sekuler. Gagasan ini muncul karena tidak adanya landasan pengetahuan yang bersifat netral, sehingga ilmupun tidak dapat bebas nilai. Pengetahuan dan ilmu yang tersebar ke tengah masyarakat dunia—termasuk dunia Islam telah diwarnai oleh corak budaya dan peradaban Barat. Sementara peradaban sendiri telah melahirkan kebingungan, kehilangan hahekat, menyebabkan kekacauan hidup manusia, kehilangan kedamaian dan keadilan. Pengetahuan Barat didasarkan pada skeptisme lalu diilmiahkan dalam metodologi.

Naquib al-Attas membagi ilmu menjadi dua bagian:
a. Ilmu-Ilmu Agama;
1. Al-Quran; qiraat, tafsir dan takwil
2. Hadits; sirah nabawi, sejarah dan pesan-pesan para rasul sebelumnya dan periwayatan otoritatif
3. Syariah; hukum-hukum, prinsip-prinsip dan praktek-praktek Islam
4. Teologi; tauhid (tentang Tuhan, wujudNya sifatNya, asma-asmaNya, dan perbuatan-perbuatanNya)
5. Metafisika Islam (tasawuf), psikologi, kosmologi, dan ontology
6. Ilmu-ilmu linguistik; tata bahasa, leksikografi, dan kesusasteraan
b. Ilmu-ilmu Rasional
1. Ilmu-ilmu kemanusiaan
2. Ilmu-ilmu alamiah
3. Ilmu-imu terapan
4. Ilmu-ilmu teknologi

Ide Islamisasi mengarah pada ilmu-ilmu kelompok kedua. Hal ini dikarenakan ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofi dengan segenap cabangnya mesti dibersihkan dari unsur-unsur dan konsep-konsep kunci—yaitu Islam. Islamisasi ilmu adalah suatu proses eliminasi unsur-unsur dan unsur pokok yang membentuk kebudayaan Barat dan ilmu-ilmu yang dikembangkan; kemudian memasukkan unsur-unsur dan konsep-konsep Islam.

Istilah-istilah Islam merupakan pemersatu ummat muslm sedunia, karena tidak dapat diterjemahkan secara memuaskan dalam bahasa manapun. Sehingga ia tetap seperti itu dengan merujuk pemahaman seperti bahasa aslinya. Kata “Allah” ukan buatan manusia. Jadi tidak cukup diterjemahkan dengan “God” atau “Tuhan” dengan “T” besar ala Nurchalish Madjid.



DAFTAR PUSTAKA
Prof. DR. H. Ramayulis & DR. Samsul Nizar, MA, 2009, Filsafat Pendidikan Islam

Mohamed Mohaini, Matematikawan Muslim Terkemuka, Salemba Teknika, Jakarta, 1991.
Nata Abudin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2000.

lembaga pendidikan islam di indonesia



Muhammadiyyah
Salah satu organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum perang dunia II adalah Muhammadiyyah. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh K.H Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen. (Zuhairini, 2004: 171)
Selain sebagai gerakan Islam, dakwah, dan tajdid (pembaharuan), organisasi Muhammadiyyah juga telah menempatkan pendidikan sebagai salah satu media untuk mencapai tujuan organisasi sosial keagamaan. Penempatan ini selain strategis juga telah membawa keberhasilan yang luar biasa dalam rangka mencerdaskan umat Islam dan bangsa Indonesia. Sebagai salah satu wahana untuk berperan aktif mencerdaskan anak-anak bangsa, Muhammadiyyah telah merumuskan visi, misi, tujuan, dan kelembagaan pendidikannya. (Hamdan, 2009: 77)
a.       Visi dan Misi Pendidikan Muhammadiyyah
Bagi Muhammadiyyah, pendidikan memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam pencapaian maksud dan tujuan Muhammadiyyah, yakni menegakkan dan menjungjung tinggi agama Islam yang sebenar-benarnya. Menurutnya tujuan Muhammadiyyah itu dapat diwujudkan dengan melaksanakan dakwah yang salah satunya melalui pendidikan. (Hamdan, 2009: 78)
 Menurut Hamdan (2009: 78) bahwa visi yang diemban oleh pendidikan Muhammadiyyah adalah pengembangan wawasan intelektual (berfikir) peserta didik setiap jenis dan jenjang pendidikan yang dikelola oleh organisasi Muhammadiyyah. Sedangkan misinya ialah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam melalui dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar di semua aspek kehidupan. Adapun implementasi visi dan misi pendidikan Muhammadiyyah ini tentunya mendapat penekanan atau prioritas yang berbeda-beda sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikannya.
b.      Tujuan Pendidikan Muhammadiyyah
Sejak awal berdirinya, ormas Muhammadiyyah merupakan gerakan purifikasi (pemurnian) pemikiran Islam dan sekaligus memosisikan diri sebagai gerakan dakwah dan pendidikan. Sebagai organisasi keagamaan yang sangat concern dengan dunia pendidikan, Muhammadiyyah telah menyelenggarakan berbagai jenis lembaga pendidikan yang tercakup dalam kegiatan pendidikan formal (sekolah), non-formal (di masyarakat, sekolah), dan informal (rumah tangga, masyarakat, sekolah).(Hamdan, 2009: 80)
Sebenarnya tujuan umum pendidikan Muhammadiyyah secara resmi baru dirumuskan pada tahun 1936 pada saat kongres di Betawi yang berisi, (1) menggiring anak-anak Indonesia menjadi orang Islam yang berkobar-kobar semangatnya, (2) badannya sehat, tegap bekerja, dan (3) hidup tangannya mencari rezeki sendiri, sehingga kemauannya itu memberi faedah yang besar dan berharga hingga bagi badannya dan juga masyarakatnya hidup bersama. (Hamdan, 2009: 84)
Kelembagaan Pendidikan Muhammadiyyah
Menurut Ahmad Tafsir (Hamdan, 2009: 88) mengatakan bahwa program pendidikan di SD, SMP, SMA Muhammadiyyah tidak sebatas pada program yang sebagaimana tertulis di dalam buku kurikulum sekolah itu masing-masing. Muhammadiyyah menganggap perlu juga adanya kegiatan pendidikan yang bersifat menunjang kurikulum yang tertulis didalam kurikulum tersebut. Kegiatan penunjang itu seperti Madrasah Diniyah sore hari, kursus bahasa Arab dan agama Islam tiga hari dalam seminggu, dan kegiatan belajar lainnya yang menunjang.
Nahdatul Ulama
Nahdatul Ulama didirikan pada tanggal 16 Rajab 1344 H di Surabaya yang didirikan oleh alim ulama dari tiap-tiap daerah di Jawa. Diantaranya:
a.    K.H Hasyim Asy’ari Tebuireng
b.    K.H Abdul Wahab Hasbullah
c.    K.H Bisri Joombang
d.   K.H Ridwan Semarang
e.    Dan lain-lain
Latar belakang didirikannya organisasi ini pada mulanya adalah sebagai perluasan dari suatu komite Hijaz yang dibangun dengan dua tujuan, (1) untuk mengimbangi komite khilafah yang secara berangsur-angsur jatuh di tangan pembaharuan, (2) untuk berseru kepada Ibnu Sa’ud, penguasa baru di tanah Arab, agar kebiasaan beragama secara tradisi dapat diteruskan. (Zuhairini, 2004: 179)
Masih dalam Zuhairini (2004: 181) bahwa maksud perkumpulan NU ialah memegang salah satu mazhab dari mazhab imam yang empat, yaitu: (1) Syafi’i (2) Maliki (3) Hanafi (4) Hanbali, dan mengerjakan apa-apa yang menjadikan kemaslahatan untuk agama Islam. Dan untuk mencapai maksud itu, maka diadakan ikhtiar:
a.         Mengadakan perhubungan antara ulama-ulama yang bermazhab di atas tersebut
b.        Memeriksa kitab-kitab sebelum dipakai untuk mengajar, supaya diketahui apakah kitab itu termasuk kitab-kitab Ahlusunnah Wal Jamaah atau kitab-kitab Ahli Bid’ah
c.         Menyiarkan agama Islam berdasarkan pada mazhab tersebut di atas dengan jalan apa saja yang baik
d.        Berikhtiar memperbanyak madrasah-madrasah yang berdasarkan agama Islam
e.         Memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan masjid-masjid, surau-surau, pondok-pondok, begitu juga dengan hal ihkwalnya anak-anak yatim dan orang fakir miskin
f.         Mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan, dan perusahaan yang tiada dilarang oleh syara’ agama Islam
Demikian maksud dan tujuan NU sebagaimana yang tersebut dalam Anggaran Dasar 1926 (sebelum menjadi partai politik). Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa NU adalah perkumpulan sosial yang mementingkan pendidikan dan pengajaran Islam. Oleh sebab itu NU mendirikan beberapa madrasah di tiap-tiap cabang untuk mempertinggi nilai kecerdasan dan budi luhur masyarakat Islam. Sejak masa pemerintahan Belanda dan penjajahan Jepang, NU tetap memajukan pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah, juga mengadakan tablig-tablig serta pengajian-pengajian disamping urusan sosial yang lain, bahkan juga urusan politik yang dapat dilaksanakannya pada masa itu. (Zuhairini, 2004: 181)
3.      Persatuan Islam
Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung pada permulaan tahun 1920 ketika orang-orang Islam di daerah-daerah lain telah lebih dahulu maju untuk mengadakan pembaharuan dalam agama. Ide pendirian organisasi ini berasal dari pertemuan yang bersifat kenduri (perjamuan makan) yang didakan secara berkala di salah satu anggota kelompok di Bandung. Di sana mereka berbincang mengenai masalah-masalah agama yang dibicarakan oleh majalah Al-Munir di Padang, oleh Al-Manar di Mesir, pertikaian-pertikaian antara Al-Irsyad dan Jam’iat Khair. Juga pembicaraan soal komunisme yang telah berhasil memecahkan Sarekat Islam yang begitu kuat. (Zuhairini, 2004: 187)
Menurut Zuhairini (2004: 188) hal utama yang diperhatikan oleh Persis adalah bagaimana menyebarkan cita-cita dan pemikirannya. Ini dilakukan dengan mengadakan pertemuan umum, tablig, khutbah-khutbah, kelompok-kelompok studi, mendirikan sekolah-sekolah, dan menyebarkan atau menerbitkan pamflet-pamflet, majalah-majalah dan kitab-kitab. Dalam kegiatan ini Persis beruntung karena mendapatkan dukungan dari dua orang tokoh penting, yaitu Ahmad Hasan, yang dianggap sebagai guru Persis yang utama pada masa sebelum perang, dan Muhammad Natsir yang pada waktu itu merupakan seorang anak muda yang sedang berkembang dan yang tampaknya bertindak sebagai juru bicara dari organisasi tersebut dalam kalangan terpelajar.
Sebagaimana halnya dengan organisasi Islam lainnya, Persis memberikan perhatian yang besar pada kegiatan-kegiatan pendidikan, tablig serta publikasi. Dalam bidang pendidikan Persis mendirikan sebuah madrasah yang mulanya dimasudkan untuk anak-anak dari anggota Persis, juga kursus-kursus dalam masalah agama seperti masalah iman, ibadah dengan menolak segala kebiasaan bid’ah. (Zuhairini, 2004: 190)
Sebuah kegiatan yang penting lainnya dalam rangka pendidikan Persis ini adalah membentuk lembaga pendidikan Islam, sebuah proyek yang diprakarsai oleh M.Natsir dan terdiri dari beberapa buah sekolah seperti Taman Kanak-kanak, HIS (keduanya pada tahun 1930), sekolah Mulo (1931), dan sebuah sekolah guru (1931).Disamping pendidikan Islam, Persis juga mendirikan Pesantren di Bandung pada bulan Mei 1936 untuk membentuk kader-kader yang mempunyai keinginan untuk menyebarkan agama. Lalu pesantren ini dipindah ke Bangil, Jawa Timur, ketika Ahmad Hasan pindah kesana dengan membawa 25 dari 40 siswa dari Bandung. (Zuhairini, 2004: 191)



DAFTAR PUSTAKA
Daulay, H. P. (2009). Dinamika Pendidikan Islam di Asia Tenggara. Jakarta: Rineka Cipta.
Hamdan. (2009). Paradigma Baru Pendidikan Muhammadiyyah. Yogyakarta: Ar-Ruz Media.
Langgulung, H. (2000). Asas-Asas Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Al Husna Zikra.
Muchtar, H. J. (2005). Fikih Pendidikan. Bandung: Rosda.
Nasir, R. (2010). Tipologi format Pendidikan Ideal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nata, A. (2012). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Zuhairini. (2004). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.


SILABUS K13 Pendidikan Agama Islam VIII SMP

SILABUS MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN BUDI PEKERTI Satuan Pendidikan              : SMP Negeri Kelas             ...